Kita tahu bahwa perkebunan sawit merupakan proyek jangka panjang yang memiliki dampak buruk terhadap kawasan hutan. Pada umumnya, kelapa sawit atau Elaeis guineensis ditanam secara monokultur, yang mana sistem tanam itu dapat menyebabkan penurunan kualitas ekosistem lanskap hutan. Dengan demikian perkebunan berkontribusi banyak dalam perubahan keragaman dan sebaran satwa liar, hingga penurunan kekayaan jenis yang dibandingkan dengan hutan asli.
Meskipun telah membangun sistem kawasan konservasi sejak awal abad ke 20, Indonesia masih menjadi negara yang memiliki laju deforestasi yang tertinggi di dunia. Hal itu disebabkan oleh perkembangan industri kelapa sawit di dunia. Padahal kita tahu bahwa ekosistem-ekosistem endemik di Sumatra merupakan habitat bagi spesies-spesies yang memiliki status konservasi kritis, seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), dan dua species orangutan (Pongo abelii dan Pongo tapanuliensis).

Dalam artikel jurnal “Protected area effectiveness in a sea of palm oil: A Sumatran case study” yang terbit di Biological Conservation menjelaskan bahwa ada kenaikan laju deforestasi pada area yang berdekatan dengan kawasan konservasi, yang mana kenaikan laju deforestasi memberikan gambaran yang utuh atas dampak industri perkebunan sawit. Penelitian ini mengkaji tiga lokasi kawasan konservasi Sumatra, yaitu Taman Nasional Tesso Nilo, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, dan Suaka Margasatwa Rimbang Baling. Dari ketiga kawasan konservasi itu, Taman Nasional Tesso Nilo memiliki laju deforestasi terbesar. Tesso Nilo telah mengalami deforestasi yang tinggi dengan salah satu penyebab adalah kedekatan wilayah ini dengan perkotaan, namun dengan seiring pertumbuhan populasi di Riau dan alih fungsi lahan yang makin meningkat, maka peningkatan deforestasi mungkin saja terjadi juga di Rimbang Baling dan Bukit Tigapuluh.
Sejak awal berdiri, kawasan Taman Nasional Tesso Nilo telah menjadi sebuah konflik dan memang masyarakat setempat tidak mendukung adanya kawasan konservasi ini. Sehingga tidak bisa dihindarkan jika penduduk setempat masih sering memanfaatkan kawasan hutan untuk kepentingan ekonomi. Padahal sebenarnya manajemen masyarakat memiliki dampak positif pada efektivitas kawasan konservasi. Tesso Nilo memiliki karakteristik rata-rata elevasi dan kemiringan yang landai, yang mana area ini sangat sesuai untuk tempat tumbuh kelapa sawit. Efek negatif dari ekspansi kelapa sawit yang berkelanjutan dalam suatu lanskap dapat merusak kondisi hutan asli. Namun permasalahan yang lebih kompleks sudah dihadapi oleh kawasan konservasi ini. Petani kecil dapat mengambil manfaat dari meledaknya industri kelapa sawit. Transparansi, hak tanah petani kecil, dan pembagian manfaat yang sama telah terbukti meningkatkan keberhasilan kelapa sawit di tingkat lokal. Walaupun mungkin ada manfaat sosial ekonomi dari industri kelapa sawit, namun penyuapan, kurangnya dana untuk lembaga-lembaga lokal, dan alih fungsi lahan secara ilegal sudah menjadi hal umum, yang akhirnya membuat peraturan untuk konservasi sulit ditegakkan.
Silahkan baca penelitian lengkapnya melalui https://doi.org/10.1016/j.biocon.2019.03.018P