Ditulis oleh: Hastin Ambar Asti
Bulan Agustus lalu, saya berkesempatan melihat jejak kebakaran hutan dan lahan gambut tahun 2015 di kawasan Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) CIMTROP, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Selama kurang lebih 20 hari, saya melakukan penelitian mengenai respon komunitas herpetofauna pasca kebakaran di hutan rawa gambut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang respon komunitas herpetofauna terhadap kebakaran di hutan rawa gambut dan informasi tentang daerah yang dapat menjadi refugia dan sumber rekolonisasi pada tahap suksesi selanjutnya. Penelitian ini bisa berjalan dengan lancar atas dukungan dari Borneo Nature Foundation (BNF) dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Survei herpetofauna di hutan rawa gambut bekas terbakar merupakan pengalaman pertama bagi saya. Bagi yang pernah survei di gambut pasti paham rasanya tiba-tiba terperosok ke dalam gambut. Lain cerita jika hutan gambut tersebut habis terbakar, praktis gambut berubah menjadi genangan air. Rasanya terperosok?! Sama seperti terperosok di gambut, cuma ketambahan basah saja kok.
Berjalan di dalam genangan air harus ekstra hati-hati. Kadang terperosok, kadang terpeleset ketika salah memilih batang kayu sebagai pijakan, kadang juga kaki terbentur kayu robohan. Oh satu lagi, disana saya masih saja kaget dan takjub saat melihat ular air yang melintas atau berenang di dekat kaki saya. Menarik ya?!
Bagaimana dengan di kondisi di hutan? Survei di hutan terasa lebih nyaman karena kondisinya lebih sejuk. Tapi ternyata saya dan tim harus lebih waspada karena di hutan sering sekali terjadi angin kencang. Ranting-ranting seringkali jatuh di depan wajah atau tepat mengenai bahu dan kepala kami. Tak jarang pohon-pohon juga roboh di sekitar jalur yang kami lewati.
Selain itu, berpindah lokasi ke hutan bukan berarti kami terbebas dari genangan air. Hujan deras yang terus menerus turun menyebabkan hutan dalam kondisi tergenang. Hanya 2 atau 3 hari saja sepatu saya kering. Sisanya terasa sama seperti di hutan bekas terbakar, sepatu basah dan kulit kaki yang rasanya jadi keriput permanen.

Saya melakukan survei komunitas herpetofauna menggunakan metode Visual Encounter Survey yang dimodifikasi dengan line transect pada area hutan bekas terbakar dan hutan tidak terbakar. Survei ini dilakukan pada pagi (diurnal) dan malam hari (nocturnal). Kemudian untuk mengetahui kondisi habitat Herpetofauna, saya mengambil data lingkungan menggunakan nested sampling dan protocol sampling. Sebagai tambahan, saya melakukan pemasangan song meter pada jalur transek untuk merekam suara amfibi.

Saya mengamati adanya perbedaan antara jenis herpetofauna yang menghuni kedua area hutan tersebut. Pulchrana baramica (Brown Marsh Frog – amfibi) dan Eutropis multifasciata (Common Sun Skink – reptil) merupakan jenis yang paling banyak saya jumpai di hutan bekas terbakar. Sedangkan di hutan tidak terbakar jenis yang banyak teramati adalah Limnonectes paramacrodon (Masked Swamp Frog – amfibi) dan Cyrtodactylus cf. pubisulcus (Inger’s Bow-fingered Gecko – reptil).

Hal yang menarik perhatian saya adalah suara katak pohon yang hanya terdengar di area hutan tidak terbakar. Suara katak ini berasal dari arah kanopi, nampaknya di atas ketinggian 15 m. Katak ini lebih sering berbunyi di pagi hari dan saat petang suaranya nyaris menghilang. Setelah mencocokkan dengan database, suara itu merupakan suara dari Rhacophorus harrissoni (Brown Tree Frog). Beberapa literatur menyebutkan bahwa jenis tersebut menghabiskan sebagian besar hidupnya di pepohonan. Pantas saja saya tidak bisa menemukan jenis katak tersebut, padahal suaranya terdengar sangat jelas. Jika penasaran seperti apa suaranya, bisa cek di https://soundcloud.com/frogvoicesofborneo/52-rhacophorus-harrisoniwav.