Gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis), subspesies dari gajah asia (Elephas maximus), kini menghadapi ancaman serius yang memicu perhatian internasional. Baru-baru ini, International Union for Conservation of Nature (IUCN) merilis status konservasinya sebagai spesies Endangered/terancam, melalui penilaian yang dilakukan pada November 2023. Kategori status tersebut diberikan kepada spesies-spesies yang menghadapi risiko kepunahan tinggi di alam liar pada waktu yang akan datang. Penetapan status konservasi ini menyoroti urgensi perlindungan dan langkah-langkah konservasi yang lebih efektif untuk menyelamatkan gajah kalimantan dari ambang kepunahan.
Spesies yang dikenal dengan sebutan gajah kerdil atau pygmy elephant memiliki ciri fisik unik. Spesies ini memiliki tubuh yang lebih kecil dibandingkan subspesies gajah asia lainnya, dengan ukuran tubuh hanya sekitar 72-90% dari ukuran gajah asia pada umumnya. Tinggi badan gajah kalimantan berkisar antara 2,5 hingga 3 meter, membuat mereka terlihat lebih kerdil dibandingkan kerabat mereka yang lebih besar (Cranbrook et al., 2008).
Meskipun dinamakan sebagai gajah kalimantan, habitat mereka tidak mencakup seluruh wilayah Pulau Kalimantan. Saat ini, persebaran utama gajah kalimantan diperkirakan berada di bagian utara pulau, yaitu di Sabah, Malaysia dan sebagian kecil di Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia (Mclean et al., 2024). Selama 75 tahun terakhir, populasi gajah kalimantan telah menurun, terutama akibat penebangan hutan yang merusak sebagian besar habitat mereka. Berdasarkan data tahun 2011, dalam kurun waktu 40 tahun, wilayah Sabah telah kehilangan sekitar 40% tutupan hutannya yang dikonversi menjadi perkebunan dan pemukiman (Alfred et al., 2011). Konversi hutan ini tidak hanya mengurangi luas habitat yang tersedia bagi gajah, tetapi juga menyebabkan fragmentasi habitat, membuat gajah terpaksa berpindah-pindah di area yang semakin sempit dan terisolasi.
Selain hilangnya habitat akibat konversi hutan dan fragmentasi habitat, Alfred et al. (2011) juga menyebutkan bahwa tingginya kehadiran manusia di dekat kawasan yang seharusnya menjadi habitat gajah kalimantan juga menjadi ancaman serius. Perubahan penggunaan lahan telah menyebabkan persaingan ketat antara manusia dan gajah untuk mendapatkan ruang dan sumber daya. Gajah sering memasuki lanskap yang didominasi manusia untuk mencari makanan, yang sering kali berujung pada kerusakan tanaman dan konflik manusia-gajah (Human-Elephant Conflict/HEC).
Penelitian yang dilakukan oleh Suba et al. (2017) di wilayah Tulin Onsoi, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara menunjukkan bahwa HEC telah menjadi masalah signifikan dalam upaya konservasi gajah kalimantan. Konflik ini memicu sikap negatif dari masyarakat terhadap gajah, tentu saja ini bertolak belakang dengan rasa hormat terhadap gajah yang telah mengakar kuat sepanjang sejarah. Upaya penyelamatan gajah dan habitatnya di masa depan sangat bergantung pada dukungan masyarakat setempat.
Ancaman lain juga muncul pada beberapa area akibat aktivitas masyarakat yang sering melakukan pemasangan jerat untuk menangkap satwa lain. Namun naasnya, jerat ini malah menjadi ancaman bagi gajah karena adanya risiko salah jerat. Semakin sempitnya habitat, gajah akan semakin mengandalkan area yang tidak dilindungi untuk pergerakan mereka. Hal ini meningkatkan risiko terjerat dan cedera, yang dapat berujung pada kematian.
Berbicara tentang gajah kalimantan, beberapa waktu lalu tim Laboratorium Pengelolaan Satwa Liar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada telah berkesempatan untuk menjumpai spesies ini secara langsung di alam liar saat melakukan perjalanan ke Sandakan, Sabah, Malaysia. Perjalanan tersebut merupakan bagian dari kolaborasi dengan International Elephant Project dalam mengembangkan teknologi bioakustik untuk deteksi kehadiran gajah, salah satunya gajah Kalimantan. Tentu, terobosan ini merupakan salah satu upaya kami untuk turut menyelamatkan satwa gajah dari ambang kepunahan.
Teman-teman bisa simak press release oleh IUCN melalui tautan di sini
Referensi
Alfred, R., Ambu, L., Nathan, S. K. S. S., & Goossens, B. (2011). Current status of Asian elephants in Borneo. Gajah, 35, 29-35.
Cranbrook E, Payne J, Leh CMU. 2008. Origin of the elephants Elephas maximus L. of Borneo. Sarawak Mus J 63: 95-125.
IUCN. (2024). Bornean elephant Endangered – IUCN Red List. Diakses pada 1 Juli 2024.
IUCN. (2024). Borneo elephants now classified as Endangered on the IUCN Red List. Diakses pada 1 Juli 2024.
MacKinnon, K. (1996). The ecology of Kalimantan (Vol. 3). Oxford University Press.
McLean, E.A., Goossens, B., Cheah, C., Ancrenaz, M., Othman, N.B., Sukmantoro, W., Fernando, P., Vidya, T.N.C., Menon, V. & Lister, A.M. 2024. Elephas maximus ssp. borneensis. The IUCN Red List of Threatened Species 2024: e.T237597413A237597422. Diakses pada 01 July 2024.
Suba, R. B., Ploeg, J. V. D., Zelfde, M. V. T., Lau, Y. W., Wissingh, T. F., Kustiawan, W., … & De Iongh, H. H. (2017). Rapid expansion of oil palm is leading to human–elephant conflicts in North Kalimantan province of Indonesia. Tropical Conservation Science, 10, 1940082917703508.
Suba, R. B., Beveridge, N. G., Kustiawan, W., De Snoo, G. R., & De Iongh, H. H. (2018). Foraging ecology and diet of Bornean elephants (Elephas maximus borneensis) in the Sebuku forest area, North Kalimantan Province of Indonesia: Do the choices matter?. Integrative Zoology, 13(2), 219-223.
SUKMANTORO, W., Suyitno, A., Mulyadi, M., GUNARYADI, D., SENO, A., KUSUMA, A. I., & DARWIS, D. (2021). Population, distribution, and habitat of Bornean Elephant in Tulin Onsoi, Nunukan District, Indonesia based on dung counts. Biodiversitas Journal of Biological Diversity, 22(1).