Ditulis oleh: Rahma Ayu Nabila
September lalu, saya menuju ke salah satu taman nasional tertua di Indonesia, Taman Nasional Gunung Leuser. Disambut oleh hujan yang makin deras, jalan berbatu penuh lumpur di tengah- tengah kebun sawit. Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah Sumatera, memantapkan diri tuk melakukan perjalanan agak ke utara, tepatnya di Conservation Response Unit (CRU) yang merupakan bagian dari Resort Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser. Dilansir dari crutangkahan.org, CRU Tangkahan didirikan pada 2002 sebagai bagian dari Program Konservasi Gajah Sumatera. Hingga saat ini, terdapat sepuluh gajah Sumatera yang menjadi bagian dari CRU Tangkahan.
Suara aliran air sungai yang cukup deras menjadi ucapan selamat datang begitu saya sampai di tempat ini. Hanya beberapa rumah penduduk yang terlihat, rupanya tempat tinggal para mahout gajah. Terasa sepi, tapi ternyata menyenangkan. Disinilah saya akan mencoba mencari sebuah jawaban dari penelitian saya: Seberapa Jauh Vokalisasi Gajah Sumatera Dapat Terdeteksi?
Penelitian ini dilakukan dengan memasang alat perekam pada radius per 100 m sepanjang 1 km dari sumber suara gajah (seperti pada gambar 2). Gajah- gajah yang berada di CRU Tangkahan tidak selalu berada di kandang, setiap pagi hingga siang mereka pergi ke hutan tuk mencari pakan alami. Sehingga penelitian ini memiliki beberapa perubahan dari rencana, titik sumber suara yang awalnya hanya ditentukan di kandang gajah (Gambar 3) menjadi selalu berpindah mengikuti pergerakan gajah. Alat perekam dipasang tak hanya di hutan, melainkan juga pada tutupan lahan bukan hutan. Hal ini digunakan untuk membandingkan hasilnya, apakah deteksi vokalisasi gajah Sumatera akan berbeda bila di hutan dan bukan hutan.
Sebelum berangkat kemari, dari Yogyakarta saya membawa empat unit alat perekam dengan jenis yang berbeda yaitu Swift Recorder (Gambar 4), dan Audiomoth. Beruntungnya, ketika sampai Tangkahan, saya mendapat kesempatan untuk mencoba Prototype Eloc sebanyak lima unit. Pemasangan alat perekam dilakukan selama tiga hari pada tiap titik lokasi pemasangan alat. Setelah tiga hari, alat dipindah ke titik selanjutnya. Pemindahan alat dilakukan secara berulang hingga mencapai jarak sejauh 1 km bagi hutan dan non hutan. Hasil vokalisasi Gajah Sumatera digolongkan sesuai dengan tipe vokalisasinya. Setiap tipe vokalisasi memiliki karakteristik yang berbeda, khususnya frekuensi. Karakteristik yang berbeda inilah menyebabkan adanya perbedaan jauh- dekatnya tiap- tiap suara gajah dapat terdeteksi.
Penelitian dengan alat perekam suara atau dikenal dengan bioakustik merupakan penelitian yang bekerjasama dengan International Elephant Project (IEP) dan Sumatran Elephant Conservation Initiative (SECI). Hal ini menjadi pengalaman pertama saya. Trial dan error selalu menjadi prinsip sedari awal ketika mempelajari bioakustik ini, bahkan hingga saya sudah berada di lapangan. Beberapa kali melakukan pengulangan pengambilan data karena adanya kesalahan dalam pengoperasian alat. Noise yang cukup banyak pun akan sangat mengganggu kualitas data. Posisi dalam peletakan alat menjadi salah satu kunci untuk menghindari noise. Pernah suatu waktu, saya berniat mengikuti pergerakan dari gajah dengan membawa satu alat perekam di dalam tas. Rupanya saat dilakukan pengecekan hasil suara, terdapat banyak noise yang ditimbulkan karena guncangan dan gesekan tas. Wow, sangat sensitif memang.
Tak hanya sampai disitu, pengalaman tak terduga tentang hampir kehilangan data pun sempat dirasakan. Pada suatu siang yang panas, saya ditemani oleh teman dan seorang pemandu lapangan bernama Pak Tejo melangkah masuk ke dalam hutan untuk mengambil alat yang telah terpasang. Saat itu, kami menuju ke titik 500 m- 700 m. Lembah, bukit, parit telah kami lewati. Kondisi yang sangat lembab karena semalaman diguyur hujan membuat banyak pacet mengerubungi kaki kami bertiga. Pak Tejo yang berjalan di depan tiba- tiba menghentikan langkah, “sudah sampai,” ucapnya sambil duduk di atas batu. Tak lama, ia mengernyit dan mengambil satu busa hitam yang tergeletak di belakang batu tempatnya duduk, “Eh, apa ini ya?”
Teman saya yang sudah berada di dekat Pak Tejo menoleh sebentar, “Kok kayak kenal ya,”
Tapi, benda itu tak kami pikirkan lagi. Pak Tejo membuangnya kembali dan kami berdua sibuk mencari pohon tempat peletakan alat. Begitu menemukan pohon yang dituju, saya terdiam. Teman saya ikut terdiam. Ternyata tidak ada alat di pohon tersebut. Refleks, kami berjalan panik ke arah Pak Tejo duduk dan mengambil busa hitam tadi. Rupanya, busa hitam ini adalah busa pelindung dari alat perekam yang seharusnya masih terpasang di pohon. Dengan teliti kami bertiga mencari semua bagian alat yang telah tercecer di lantai hutan. Untungnya, kami berhasil menemukan semua komponennya. Walau dalam kondisi yang menyedihkan (Gambar 5) . Sepertinya, alat kami diserang oleh hewan, kemungkinan kelompok primata.
Setelah kejadian itu, kami bertiga kembali ke basecamp. Saya waswas dan merasa tak tenang, bagaimana jika datanya hilang? Tapi untungnya, ketika saya cek di laptop, semua data masih aman. Saya pun bernapas lega, akhirnya tidak perlu mengulang.
Di samping pengalaman kerusakan alat, ada sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Pertengahan November, tepatnya tanggal 17, lahirlah seekor bayi gajah jantan di CRU Tangkahan (gambar 6). Sungguh, pengalaman yang luar biasa dapat melihat bayi gajah berumur 0 hari secara langsung. Badannya masih merah, jalan pun sempoyongan, tekstur kulit dan rambutnya masih sangat lembut seperti bayi. Bayi gajah ini berasal dari indukan Olive dan Theo, lahir tengah malam ketika semua orang masih tertidur. Hingga tulisan ini dibuat, bayi gajah yang memiliki berat 90 kg itu belum diberi nama. Kami semua masih menyebutnya ‘Si Kecil’. Semoga sehat- sehat terus ya!
’
Gambar 6. Foto bersama bayi yang sudah pandai menyusu