Apa hal yang paling ditunggu saat melihat orang utan di habitat alaminya? Tentu bisa melihat mereka bergerak bebas kesana- kemari, bergelantungan dari dahan ke dahan untuk mengambil buah masak, lalu dimakan. Namun, bagaimana jika tak banyak lagi dahan yang terhubung?
Meski dikenal sebagai satwa arboreal, ternyata orang utan juga dapat melakukan lebih banyak gerakan terestrial pada kondisi tertentu. Salah satunya, ketika adanya gangguan hutan yang menyebabkan penurunan kualitas habitat. Hal ini membuat orang utan mau tak mau harus beradaptasi, bahkan mengalami perubahan pola aktivitas harian yang berpotensi menurunkan kebugarannya.
Biasanya saat lapar, orang utan akan bergerak langsung menuju pohon buah terdekat dengan mengayun ke dahan-dahan yang terhubung. Namun, pada hutan yang terganggu, seringkali orang utan akan kesulitan menemukan dahan pohon sebagai jembatan penghubung pohon buah untuk sumber pakannya. Dengan kondisi demikian, orang utan akan memilih untuk turun ke tanah dan berjalan menuju ke pohon tujuan.
Tim Laboratorium Pengelolaan Satwa Liar bersama peneliti dari Technische Universität Dresden, Kirana Widyastuti, telah menggambarkan pergerakan arboreal dan terestrial tersebut melalui agent based modelling approach, yaitu BORNEO (arBOReal aNimal movEment mOdel). Model ini menggambarkan kompleksitas habitat orang utan dengan menunjukan struktur hutan sebagai pohon-pohon yang terkoneksi dan memengaruhi pergerakan orang utan. Dalam model, orang utan dijadikan objek utama (agen) yang menggunakan konektivitas antar pohon untuk melakukan perjalanan. Adanya perubahan struktur hutan akan meningkatkan frekuensi pergerakan terestrial orangutan dalam model BORNEO.
Pada intensitas kebakaran yang tinggi, orang utan lebih memilih berjalan di darat, baik orang utan jantan ataupun betina. Orang utan yang disimulasikan oleh BORNEO, akan mempertahankan proporsi pergerakan arboreal selama gangguan kebakaran masih tergolong rendah. Ketika gangguan kebakaran mencapai tingkat sedang hingga tinggi, barulah orang utan memilih untuk berjalan kaki di tanah. Model ini menemukan bahwa keseimbangan energi jantan lebih sensitif terhadap gangguan dibandingkan dengan betina. Hal ini merupakan konsekuensi dari peningkatan jarak tempuh dan penurunan aktivitas makan bagi para jantan.
Model yang dikembangkan oleh Kirana juga menunjukkan bahwa perilaku orang utan jantan lebih sensitif terhadap kebakaran daripada orang utan betina. Hal ini dimungkinkan karena massa tubuh orang utan jantan lebih besar, sehingga mengharuskan para jantan untuk mencari asupan energi yang lebih besar dibandingkan orang utan betina. Terutama orang utan jantan yang memiliki cheek pad.
Baca penelitian selengkapnya disini