Ditulis oleh: Tungga Dewi Hastomo Putri
“You are what you eat” adalah frasa bahasa Inggris yang mungkin cocok dirasa untuk mengawali artikel ini. Ungkapan tersebut banyak digunakan untuk mengulik hubungan di balik manusia dan pilihan dietnya dengan berbagai aspek kehidupan seperti perilaku, mentalitas, filosofi bahkan hingga status sosial dan komunitas tempat dia berada atau berasal. Tapi, semenjak manusia secara taxonomi juga merupakan anggota family Homonidae, saya rasa ungkapan tersebut juga dapat digunakan sebagai acuan dalam kita merumuskan research question untuk penelitian diet hewan.
Slow loris atau kukang, atau semua spesies yang tergabung dalam genus Nycticebus merupakan pemakan getah (exudativorous), setidaknya begitu yang dikabarkan oleh penelitian terbaru, yang mencangkup penelitian jangka panjang salah satu spesiesnya yaitu kukang jawa (Nycticebus javanicus). Penelitian tersebut mengoreksi konsensus lama dimana semua spesies primata pada genus tersebut memakan buah sebagai diet utamanya.

Sebagai seekor exudativorous, kukang dibekali dengan adaptasi anatomi (gigi sisir yang kuat), sistem pencernaan (pencernaan dengan mikroba yang dapat mencerna substansi kompleks dalam getah melalui fermentasi), sistem pembauan (olfactory) dan bahkan pola rambut yang menyerupai kulit pohon sebagai adaptasi pertahanan diri selama proses lama bergelantung di pohon untuk mencungkil lubang getah dan memakan getah. Namun sayangnya, masih sedikit yang kita ketahui mengenai getah itu sendiri, sebuah pertanyaan awal untuk menjawab mengapa kukang menjadikan getah sebagai makanan utama. Ini merupakan perjalanan panjang dan untuk menjawab pertanyaan tersebut, adalah lebih baik untuk kita mengenal lebih dalam getah sebagai makanan, yang mana berarti mengerti kandungan nutrisi dan komponen lainnya yang terdapat dalam sebongkah getah pohon yang dikonsumsi kukang.

Terdapat banyak jenis getah pohon, namun gum adalah yang paling sering dikabarkan untuk dikonsumsi berbagai jenis mamalia, keluarga kukang adalah salah satunya. Penelitian kami mengambil tempat di hutan Kemuning, Jawa Tengah. Sebuah hutan sekunder asri yang menjadi habitat alami kukang Jawa dan hewan terancam punah lainnya. Penelitian ini bermula dari skripsi Tungga Dewi dengan Dr. Muhammad Ali Imron dan Prof Ganis Lukmandaru sebagai dosen pembimbing. Dalam pengerjaannya, penelitian kami merupakan satu dari sekian banyak kolaborasi Fakultas Kehutanan UGM dengan Prof Anna Nekaris dari Oxford Brookes University beserta tim yaitu Katey Hedger dan Dr Marco Campera yang kemudian diikutkan dalam tim penulis publikasi.

“Tak kenal maka tak sayang”, maka untuk mengenal kukang Jawa dan getah yang dimakan, kami melakukan pengamatan perilaku kukang Jawa untuk mengidentifikasi jenis getah apa saja yang dimakan olehnya. Hasil pengamatan kami menemukan delapan jenis pohon bergetah gum yang dimanfaatkan oleh si kukang Jawa, namun, hanya empat yang kami lihat getahnya dimakan. Empat pohon tersebut adalah Litsea velutina, Spondias pinnata, Dysoxylum gaudichaudianum, dan Sterculia urceolata. Sedangkan empat pohon lain yang tidak dimakan getahnya namun dimanfaatkan sebagai pohon untuk beristirahat, berpindah tempat (koneksi), atau interaksi sosial adalah Terminalia bellirica, Albizia procera, Albizia chinensis, dan Leucaena leucocephala.

Untuk mengerti apakah terdapat perbedaan dalam kandungan nutrisi dan komponen lain dari getah yang dimakan dan tidak dimakan, kami melakukan analisis di laboratorium, khususnya untuk mencari tau kandungan nutrisi dan plant secondary metabolite (komponen metabolit tanaman). Kenapa plant secondary metabolite (PSM)? PSM merupakan substansi yang sering bertanggungjawab atas rasa masam atau pahit di semua bagian tanaman. Tentu saja, karena banyak PSM berfungsi sebagai strategi pertahanan diri tanaman dari organisme seperti serangga. Masalahnya, bagi beberapa mamalia, PSM merupakan alasan pemilihan makanan karena tingkat toleransi suatu jenis mamalia berbeda terhadap komponen yang dianggap “mematikan”. Mari ambil contoh tanin terkondensasi yang dihindari oleh Galago senegalensis namun tidak oleh Eulemur fulvus.
Setelah berhari-hari dibelakang tabung ekstraksi dan larutan yang siap uji, kami akhirnya mengetahui kandungan nutrisi dan PSM pada tiap-tiap getah. Empat jenis getah yang dimakan memiliki kandungan polisakarida (gula kompleks atau setara dengan karbohidrat) yang secara signifikan lebih tinggi daripada yang tidak dimakan, meski secara general semua getah memiliki kandungan gula kompleks yang cenderung banyak. Hal menarik lainnya yang kami ungkap adalah getah yang dimakan memiliki kandungan flavonoid (PSM) yang signifikan lebih rendah daripada yang tidak dimakan.

Sekali lagi penelitian kami terhadap populasi kukang Jawa di lokasi yang belum pernah di teliti sebelumnya, berkontribusi untuk poin lain yang mendukung pernyataan bahwa kukang adalah hewan exudativorous. Hasil penelitian kami tentu membuka pertanyaan bagi penelitian lain. Apakah populasi di tempat lain juga ditemukan preferensi spesies pohon bergetah? Kalau memang ada preferensi spesies pohon, apakah polisakarida dan flavonoid juga menjadi variabel yang berbeda, ataukah komponen yang lain? Kapan dan dalam keadaan bagaimanakah kukang mengonsumsi suatu jenis getah? Apakah konsumsi getah khusus merupakan bentuk penyembuhan diri? dan pertanyaan lainnya.
Terlepas dari valid tidaknya kandungan nutrisi dan PSM melatarbelakangi preferensi spesies pohon bergetah oleh kukang jawa, penelitian kami menyuarakan urgensi dalam pemilihan diet yang cocok bagi kukang Jawa di rehabilitasi atau kebun binatang, mengingat mereka tidak dapat memilih makanan yang disediakan oleh pengelola. Selain itu, memilih lokasi pelepasliaran yang terdapat pohon bergetah juga merupakan hal kritikal yang harus dipertimbangkan sebelum melepasliarkan semua spesies kukang, khususnya kukang Jawa.

Anda dapat menemukan cerita lengkap mengenai karakteristik kandungan nutrisi pada getah yang dimakan kukang Jawa di hutan Kemuning, pada artikel ilmiah di link berikut https://link.springer.com/article/10.1007/s10329-021-00962-2.