Pagi di banyak sudut kehidupan di Pulau Jawa, kerap diawali kicau burung dari sangkar yang tergantung di teras-teras rumah. Kicauannya terdengar nyaring, seolah bersaing dengan suara lain yang berhamburan menyambut pagi. Bagi banyak orang Indonesia, kicau burung memang sudah lama jadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Suaranya yang merdu dipercaya membawa keteduhan, ketenangan, ataupun hiburan, sementara pasar burung tumbuh menjadi ruang di mana ribuan orang datang untuk mencari “melodi” mereka sendiri. Namun, dibalik keindahan dan tradisi ini, sebuah studi berjudul “Quantifying market prevalence, abundance, and suitable habitats of bulbuls in Java, Indonesia“ mengungkap kenyataan yang mengancam kelestarian salah satu kelompok burung paling populer: cucak-cucakan (bulbuls).

Investigasi mendalam dilakukan untuk memahami skala sebenarnya perdagangan burung-burung ini di Jawa, yang dikenal sebagai pusat perdagangan burung sangkar di Indonesia. Selama lebih dari enam tahun, kira-kira sekitar 2016-2022, peneliti menyusuri 20 pasar dan dilengkapi survei platform online pada 2018-2023. Hasilnya? Ditemukan 35.715 ekor burung dari 20 spesies cucak-cucakan yang berbeda. Burung-burung yang langka, bahkan yang sudah masuk daftar merah IUCN ‘critically endangered’ juga tetap diperdagangkan.
Nama yang paling sering muncul berasal dari spesies seperti kutilang (Pycnonotus aurigaster) dan Merbah Cerukcuk (Pycnonotus goiavier), mencakup hampir 78% dari total perdagangan. Cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus) yang statusnya critically endangered dan telah punah secra lokal di Jawa ternyata masih ditemukan di pasar.
Hasil temuan menunjukkan bahwa keberlimpahan burung di alam tidak berbanding lurus dengan jumlah yang diperdagangkan. Burung dengan populasi melimpah maupun yang jarang dijumpai sama-sama muncul di pasar, seolah semua spesies memiliki peminatnya sendiri. Masalah tidak berhenti disini. studi ini juga memetakan di mana burung-burung ini hidup. Hasilnya menunjukkan sebagian besar habitat yang paling cocok untuk cucak-cucakan dalam penelitian ini justru berada diluar kawasan lindung seperti taman nasional atau cagar alam. Mereka hidup di lanskap yang dekat dengan manusia, seperti lahan pertanian, kebun campuran (agroforestri), dan bahkan pemukiman. Ironisnya, rumah yang paling nyaman bagi mereka justru menempatkannya pada risiko penangkapan tertinggi.
Studi ini menjadi peringatan bagi kita semua. Jika tren ini terus berlanjut tanpa kendali, spesies yang hari ini masih kita anggap umum seperti Kutilang, mungkin bisa menyusul seperti spesies lain yang sudah jarang kita temui untuk terbang bebas?
Baca penelitian selengkapnya: https://doi.org/10.1016/j.biocon.2025.111035