• Beranda
  • Fakultas Kehutanan
  • UGM
Universitas Gadjah Mada Laboratorium Pengelolaan Satwa Liar
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • Personalia
  • Penelitian
  • Publikasi
    • Jurnal
    • Buku
    • Kekayaan Intelektual
    • Video
  • Kursus & Pelatihan
  • Artikel
  • Galeri
  • Kontak
  • Beranda
  • Pos oleh
Pos oleh :

admin #1

Kicau yang Terperangkap: Ramai di Pasar, Sepi di Hutan

Artikel populer Friday, 10 October 2025

Pagi di banyak sudut kehidupan di Pulau Jawa, kerap diawali kicau burung dari sangkar yang tergantung di teras-teras rumah. Kicauannya terdengar nyaring, seolah bersaing dengan suara lain yang berhamburan menyambut pagi. Bagi banyak orang Indonesia, kicau burung memang sudah lama jadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Suaranya yang merdu dipercaya membawa keteduhan, ketenangan, ataupun hiburan, sementara pasar burung tumbuh menjadi ruang di mana ribuan orang datang untuk mencari “melodi” mereka sendiri. Namun, dibalik keindahan dan tradisi ini, sebuah studi berjudul “Quantifying market prevalence, abundance, and suitable habitats of bulbuls in Java, Indonesia“ mengungkap kenyataan yang mengancam kelestarian salah satu kelompok burung paling populer: cucak-cucakan (bulbuls).

Pasar perdagangan burung (Foto: Afif Ramdhasuma/unsplash)

Investigasi mendalam dilakukan untuk memahami skala sebenarnya perdagangan burung-burung ini di Jawa, yang dikenal sebagai pusat perdagangan burung sangkar di Indonesia. Selama lebih dari enam tahun, kira-kira sekitar 2016-2022, peneliti menyusuri 20 pasar dan dilengkapi survei platform online pada 2018-2023. Hasilnya? Ditemukan 35.715 ekor burung dari 20 spesies cucak-cucakan yang berbeda. Burung-burung yang langka, bahkan yang sudah masuk daftar merah IUCN ‘critically endangered’ juga tetap diperdagangkan.

Nama yang paling sering muncul berasal dari spesies seperti kutilang (Pycnonotus aurigaster) dan Merbah Cerukcuk (Pycnonotus goiavier), mencakup hampir 78% dari total perdagangan. Cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus) yang statusnya critically endangered dan telah punah secra lokal di Jawa ternyata masih ditemukan di pasar.

Hasil temuan menunjukkan bahwa keberlimpahan burung di alam tidak berbanding lurus dengan jumlah yang diperdagangkan. Burung dengan populasi melimpah maupun yang jarang dijumpai sama-sama muncul di pasar, seolah semua spesies memiliki peminatnya sendiri. Masalah tidak berhenti disini. studi ini juga memetakan di mana burung-burung ini hidup. Hasilnya menunjukkan sebagian besar habitat yang paling cocok untuk cucak-cucakan  dalam penelitian ini justru berada diluar kawasan lindung seperti taman nasional atau cagar alam. Mereka hidup di lanskap yang dekat dengan manusia, seperti lahan pertanian, kebun campuran (agroforestri), dan bahkan pemukiman. Ironisnya, rumah yang paling nyaman bagi mereka justru menempatkannya pada risiko penangkapan tertinggi.

Studi ini menjadi peringatan bagi kita semua. Jika tren ini terus berlanjut tanpa kendali, spesies yang hari ini masih kita anggap umum seperti Kutilang, mungkin bisa menyusul seperti spesies lain yang sudah jarang kita temui untuk terbang bebas?

Baca penelitian selengkapnya: https://doi.org/10.1016/j.biocon.2025.111035

 

 

Bioakustik untuk Konservasi di Indonesia: Pendekatan Teknologi Melalui Suara

Artikel populerBerita Monday, 25 November 2024

Di tengah ancaman terhadap keanekaragaman hayati global maupun Indonesia, teknologi bioakustik hadir sebagai pendekatan inovatif dalam upaya konservasi. Melalui pemanfaatan suara alam –mulai dari kicauan burung hingga mamalia besar— bioakustik memungkinkan kita untuk melakukan survei ataupun pemantauan. Dr. Muhammad Ali Imron selaku Kepala Laboratorium Pengelolaan Satwa Liar Fakultas Kehutanan UGM, turut melihat kajian ini sebagai ilmu masa depan di bidang konservasi. Apalagi penerapan bioakustik di Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan dalam penanganan masalah konflik manusia-satwa.

Salah satunya yaitu konflik manusia-gajah, yang juga sedang dikembangkan oleh Laboratorium Pengelolaan Satwa Liar Fakultas Kehutanan UGM. Bioakustik hadir sebagai pelengkap metode dan upaya-upaya yang telah dilakukan. Adanya pemanfaatan integrasi teknologi bioakustik dengan aplikasi Android, machine learning, dan webGIS yang dilakukan oleh tim membawa pendekatan baru dalam mencegah konflik antara gajah dan manusia.

Project yang mendapatkan dukungan dari TFCA Sumatera ini, Dr. Imron dan tim telah melakukan riset di beberapa lokasi yang menjadi habitat gajah, salah satunya Bentang Alam Bukit Tigapuluh, Jambi. Riset dilakukan untuk mengumpulkan data suara gajah yang kemudian digunakan sebagai data untuk pengembangan machine learning deteksi vokalisasi gajah. Selain sistem deteksi kehadiran gajah, sistem yang dirancang juga mampu mengirimkan data secara langsung mengenai keberadaan gajah melalui aplikasi android.

Swift Recorder, salah satu alat bioakustik yang dikembangkan oleh Cornell University

Dikutip dari Mongabay, Dr. Imron menyampaikan bahwa di lapangan konflik dengan satwa liar sering terjadi. “Konflik itu, titik kuncinya adalah mitigasi. Mengetahui kapan kemungkinan gajah berinteraksi dengan manusia menjadi krusial. Ketika kita bisa deteksi dengan teknologi ini, saya kira pengetahuan itu akan membantu,” ujar Dr. Imron saat penyelenggaraan Symposium for Indonesia-Malaysia BioAcoustics (SIMBA) yang digelar pada 2023 tepatnya di bulan November. Fakultas Kehutanan UGM berkesempatan untuk menjadi lokasi dan mengatur jalannya Symposium for Indonesia-Malaysia BioAcoustics dengan kerjasama K Lisa Yang Center for Conservation Bioacoustics (Cornell University) dan Universiti Malaysia Terengganu.

 

Lebih lengkapnya terkait artikel ini bisa kunjungi: https://www.mongabay.co.id/2024/05/30/bioakustik-melestarikan-keanekaragaman-hayati-melalui-suara-satwa/

Lolongan New Guinea Singing Dog Meminta Perhatian Upaya Konservasi Pasca-kegiatan Penambangan

Berita Tuesday, 15 October 2024

Ujian Terbuka Arni Syawal pada  Program Doktor Kehutanan UGM, 12 Oktober 2024

Anjing yang kita tahu selama ini, merupakan binatang yang biasa menggongong. Namun ternyata ada satu species anjing liar yang hidup di dataran tinggi Pegunungan Tengah di Pulau Papua dan tidak bisa menggonggong tapi hanya bisa melolong. Anjing tersebut adalah New Guinea Singing Dog (Canis hallstromi, Troughton, 1957), merupakan  predator berukuran besar yang ada di pulau tersebut dan  mampu beradaptasi pada situasi penambangan terbuka di Pegunungan Tengah oleh PT Freeport sejak tahun 1973.

Arni Syawal, mahasiswa Program Pascasarjana Doktor Ilmu Kehutanan melakukan penelitian terhadap anjing penyanyi ini selama periode dari tahun 2021 hingga 2023. Arni menggunakan kamera jebak (camera trap) untuk melakukan estimasi populasinya, memantau pergerakannya dengan GPS colar, melakukan kajian kekerabatan atas anjing tersebut dengan anjing-anjing lainnya, serta mengkaji aspek perspektif masyarakat terhadap keberadaan dan upaya konservasinya. Dari kegiatan lapangan tersebut Arni mencoba untuk memetakan persebaran spasial, mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi persebaran serta mengevaluasi kesesuaian habitat NGSD, mengetahui ukuran, bentuk, karakteristik daerah jelajah serta pola pergerakan dan aktivitas NGSD, mengetahui praktik-praktik konservasi yang dilakukan oleh penduduk lokal dan persepsi serta sikap karyawan PT Freeport Indonesia di sekitar habitat terhadap anjing pelolong tersebut.

Suasana Ujian Terbuka Arni Syawal

Anjing ini memiliki sebaran spasial yang cukup luas sebesar 14,5 ribu hektar atau 31,8 % dari total luas wilayah penelitiannya digunakan oleh anjing. Selain itu, keberadaan anjing ini juga cukup dekat dengan manusia dengan ditunjukkan  oleh faktor-faktor habitat seperti jarak dari bangunan, elevasi dan   jarak dari jalan menjadi faktor-faktor penentu keberadaannya. Hasil dari kamera jebak mampu mengidentifikasi 9 kelompok berisikan total 43 individu hidup pada wilayah bekas tambang tersebut. Anjing penyanyi atau pelolong ini tidak terlalu aktif di malam hari, Sebagian besar aktivitasnya dilakukan pada siang hari atau diurnal (59%), dan kadang fajar atau senja hari (25%). Puncak gunung yang dingin memiliki peran penting dalam waktu aktif yang digunakan oleh jenis anjing ini.

Arni syawal melihat bahwa species anjing ini termasuk cukup adaptif baik dengan keberadaan manusia maupun terhadap kondisi alam yang berubah-berubah. Berdasarkan hasil wawancara dengan Masyarakat asli dan karyawan Perusahaan dan memperhatikan perilakunya, Arni juga optimis bahwa species ini akan mampu bertahan hidup di masa yang akan datang. Meskipun itu Upaya pendampingan dalam proses paska penambangan terbuka tetap dibutuhkan agar ketergantungan yang ada selama ini terhadap manusia dapat dikurangi secara pelan-pelan, dan anjing ini mampu bertahan hidup secara alami di puncak gunung di Tanah Papua.

Arni Syawal dan Keluarga

Selama periode perkuliahan, Arni Syawal dibawah bimbingan Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko selaku Promotor, serta Dr. Muhammad Ali Imron dan Dr. Lies Rahayu selaku para co-promotor. Sidang ujian terbuka yang dilaksanakan pada tanggal 12 Oktober 2024 dipimpin oleh Prof. Dr. Widiyatno. Dalam ujian terbuka tersebut juga dihadiri para penguji Dr. Sandy Nurvianto, Ni Putu Diana Mahayani PhD, Dr. Wahyu Wardana yang ketiganya dari Fakultas Kehutanan UGM, Dr. Muhammad Wafid yang merupakan Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, serta Prof Charlie Dani Heatubun dari Universitas Papua.

 

 

 

DATUK GEDANG: Deteksi Dini Konflik Manusia-Gajah berbasis Mobile Application dan Bioakustik

BeritaSI Datuk Gedang Sunday, 15 September 2024

Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada melalui skema pendanaan dari Tropical Forest Conservation Act (TFCA)-Sumatra mengembangkan sistem informasi deteksi dini konflik manusia gajah berbasis WebGIS melalui pemanfaatan mobile applications dan bioakustik di Bentang Alam Bukit Tiga Puluh-Jambi. Proyek ini telah dijalankan selama dua tahun, terhitung sejak awal 2022. Bioakustik memegang peranan kunci dalam proyek ini, di mana sinyal vokalisasi gajah memungkinkan deteksi keberadaan gajah dari jarak jauh, sehingga diharapkan dapat digunakan untuk mendeteksi potensi konflik lebih dini. Dengan menggabungkan data bioakustik yang telah dikumpulkan selama berjalannya proyek dan mengintegrasikannya dengan WebGIS dan aplikasi mobile, inovasi ini diharapkan menjadi solusi tambahan bagi upaya mitigasi konflik manusia-gajah.

 

Temukan lebih lanjut tentang bagaimana inovasi ini memilik peluang besar untuk membantu menjaga keharmonisan manusia dan satwa liar, terkhususnya gajah! Selengkapnya tonton video melalui channel youtube kami!

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=uYr9D9LZCdg[/embedyt]

Gajah Terkecil Sedunia: Penetapan Status Gajah Kalimantan menjadi Endangered oleh IUCN

Artikel populer Friday, 5 July 2024

Gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis), subspesies dari gajah asia (Elephas maximus), kini menghadapi ancaman serius yang memicu perhatian internasional. Baru-baru ini, International Union for Conservation of Nature (IUCN) merilis status konservasinya sebagai spesies Endangered/terancam, melalui penilaian yang dilakukan pada November 2023. Kategori status tersebut diberikan kepada spesies-spesies yang menghadapi risiko kepunahan tinggi di alam liar pada waktu yang akan datang. Penetapan status konservasi ini menyoroti urgensi perlindungan dan langkah-langkah konservasi yang lebih efektif untuk menyelamatkan gajah kalimantan dari ambang kepunahan.

Spesies yang dikenal dengan sebutan gajah kerdil atau pygmy elephant memiliki ciri fisik unik. Spesies ini memiliki tubuh yang lebih kecil dibandingkan subspesies gajah asia lainnya, dengan ukuran tubuh hanya sekitar 72-90% dari ukuran gajah asia pada umumnya. Tinggi badan gajah kalimantan berkisar antara 2,5 hingga 3 meter, membuat mereka terlihat lebih kerdil dibandingkan kerabat mereka yang lebih besar (Cranbrook et al., 2008).

Meskipun dinamakan sebagai gajah kalimantan, habitat mereka tidak mencakup seluruh wilayah Pulau Kalimantan. Saat ini, persebaran utama gajah kalimantan diperkirakan berada di bagian utara pulau, yaitu di Sabah, Malaysia dan sebagian kecil di Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia (Mclean et al., 2024). Selama 75 tahun terakhir, populasi gajah kalimantan telah menurun, terutama akibat penebangan hutan yang merusak sebagian besar habitat mereka. Berdasarkan data tahun 2011, dalam kurun waktu 40 tahun, wilayah Sabah telah kehilangan sekitar 40% tutupan hutannya yang dikonversi menjadi perkebunan dan pemukiman (Alfred et al., 2011). Konversi hutan ini tidak hanya mengurangi luas habitat yang tersedia bagi gajah, tetapi juga menyebabkan fragmentasi habitat, membuat gajah terpaksa berpindah-pindah di area yang semakin sempit dan terisolasi.

Gajah Kalimantan di Area Perkebunan Sawit (Foto: Koenbetjes/iNaturalist)

Selain hilangnya habitat akibat konversi hutan dan fragmentasi habitat, Alfred et al. (2011) juga menyebutkan bahwa tingginya kehadiran manusia di dekat kawasan yang seharusnya menjadi habitat gajah kalimantan juga menjadi ancaman serius. Perubahan penggunaan lahan telah menyebabkan persaingan ketat antara manusia dan gajah untuk mendapatkan ruang dan sumber daya. Gajah sering memasuki lanskap yang didominasi manusia untuk mencari makanan, yang sering kali berujung pada kerusakan tanaman dan konflik manusia-gajah (Human-Elephant Conflict/HEC).

Penelitian yang dilakukan oleh Suba et al. (2017) di wilayah Tulin Onsoi, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara menunjukkan bahwa HEC telah menjadi masalah signifikan dalam upaya konservasi gajah kalimantan. Konflik ini memicu sikap negatif dari masyarakat terhadap gajah, tentu saja ini bertolak belakang dengan rasa hormat terhadap gajah yang telah mengakar kuat sepanjang sejarah. Upaya penyelamatan gajah dan habitatnya di masa depan sangat bergantung pada dukungan masyarakat setempat.

Ancaman lain juga muncul pada beberapa area akibat aktivitas masyarakat yang sering melakukan pemasangan jerat untuk menangkap satwa lain. Namun naasnya, jerat ini malah menjadi ancaman bagi gajah karena adanya risiko salah jerat. Semakin sempitnya habitat, gajah akan semakin mengandalkan area yang tidak dilindungi untuk pergerakan mereka. Hal ini meningkatkan risiko terjerat dan cedera, yang dapat berujung pada kematian.

Gajah Kalimantan di Habitatnya (Foto: Janconl/iNaturalist)

Berbicara tentang gajah kalimantan, beberapa waktu lalu tim Laboratorium Pengelolaan Satwa Liar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada telah berkesempatan untuk menjumpai spesies ini secara langsung di alam liar saat melakukan perjalanan ke Sandakan, Sabah, Malaysia. Perjalanan tersebut merupakan bagian dari kolaborasi dengan International Elephant Project dalam mengembangkan teknologi bioakustik  untuk deteksi kehadiran gajah, salah satunya gajah Kalimantan. Tentu, terobosan ini merupakan salah satu upaya kami untuk turut menyelamatkan satwa gajah dari ambang kepunahan.

Teman-teman bisa simak press release oleh IUCN melalui tautan di sini

 

 

 

Referensi

Alfred, R., Ambu, L., Nathan, S. K. S. S., & Goossens, B. (2011). Current status of Asian elephants in Borneo. Gajah, 35, 29-35.

Cranbrook E, Payne J, Leh CMU. 2008. Origin of the elephants Elephas maximus L. of Borneo. Sarawak Mus J 63: 95-125.

IUCN. (2024). Bornean elephant Endangered – IUCN Red List. Diakses pada 1 Juli 2024.

IUCN. (2024). Borneo elephants now classified as Endangered on the IUCN Red List. Diakses pada 1 Juli 2024.

MacKinnon, K. (1996). The ecology of Kalimantan (Vol. 3). Oxford University Press.

McLean, E.A., Goossens, B., Cheah, C., Ancrenaz, M., Othman, N.B., Sukmantoro, W., Fernando, P., Vidya, T.N.C., Menon, V. & Lister, A.M. 2024. Elephas maximus ssp. borneensis. The IUCN Red List of Threatened Species 2024: e.T237597413A237597422. Diakses pada 01 July 2024.

Suba, R. B., Ploeg, J. V. D., Zelfde, M. V. T., Lau, Y. W., Wissingh, T. F., Kustiawan, W., … & De Iongh, H. H. (2017). Rapid expansion of oil palm is leading to human–elephant conflicts in North Kalimantan province of Indonesia. Tropical Conservation Science, 10, 1940082917703508.

Suba, R. B., Beveridge, N. G., Kustiawan, W., De Snoo, G. R., & De Iongh, H. H. (2018). Foraging ecology and diet of Bornean elephants (Elephas maximus borneensis) in the Sebuku forest area, North Kalimantan Province of Indonesia: Do the choices matter?. Integrative Zoology, 13(2), 219-223.

SUKMANTORO, W., Suyitno, A., Mulyadi, M., GUNARYADI, D., SENO, A., KUSUMA, A. I., & DARWIS, D. (2021). Population, distribution, and habitat of Bornean Elephant in Tulin Onsoi, Nunukan District, Indonesia based on dung counts. Biodiversitas Journal of Biological Diversity, 22(1).

 

Menjaga Keanekaragaman Hayati Kalimantan Tengah bersama Himba

Berita Monday, 24 June 2024

SATWA LIAR UGM- Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama Yayasan Good Forest Indonesia (dulu Fairventures Worldwide (FVW) Indonesia) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah telah mengembangkan sistem untuk menggerakkan stakeholder dan masyarakat dalam pengumpulan data keanekaragaman hayati dan potensi alam yang berada di sekitar mereka. Fase pengembangan ini sudah mencapai tahap pelatihan pada Selasa (28/2/2024) di Desa Tahawa, Kalimantan Tengah. Hal ini juga jadi penanda bahwa sistem informasi sudah siap digunakan di lapangan.

Interface aplikasi mobile Himba

Dari segi nama, Himba sendiri memiliki makna hutan belantara. Bagi masyarakat Dayak, kata Himba mempunyai arti yang sakral. “Harapannya, penggunaan kata Himba dapat menumbuhkan rasa memiliki masyarakat terhadap sistem informasi ini sehingga mereka mempunyai antusiasme tinggi untuk berkontribusi sebagai kontributor data,” ucap Bapak Sadtata Noor Adirahmanta pada saat beliau masih menjabat sebagai Kepala BKSDA Kalimantan Tengah. Selain itu, tersemat juga harapan agar kekayaan hutan rimba Kalimantan tetap bisa lestari.
Secara resmi, Himba juga telah dirilis ke publik pada saat peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) Tahun 2023 resmi diselenggarakan pada tanggal 6 – 8 November 2023 di Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Tangkiling, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Peluncuran dilakukan langsung oleh Direktur Jenderal KSDAE, Bapak Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.Agr.Sc. Sistem informasi Himba mempunyai dua bagian yakni webGIS dan aplikasi mobile. WebGIS berfungsi sebagai tempat pengelolaan data baik spasial maupun non spasial yang hak kelolanya dimiliki oleh BKSDA Kalimantan Tengah sedangkan aplikasi dapat dipasang (install) pada ponsel android dan bisa digunakan sebagai media input data oleh masyarakat dan petugas BKSDA Kalimantan Tengah. Aplikasi Himba telah didesain untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan keanekaragaman hayati di Kalimantan Tengah dan mempunyai tampilan yang user-friendly agar mudah dipakai oleh semua kalangan masyarakat. Ketersediaan jaringan internet yang tidak merata dan menyeluruh di Kalimantan Tengah juga sudah dipertimbangkan dalam pembangunan aplikasi dengan tersedianya fitur offline.

Pembahasan sistem bersama Bapak Adtata Noor Adirahmanta (Kepala BKSDA Kalimantan Tengah saat itu) untuk uji coba oleh BKSDA Kalimantan Tengah dan launching Himba

Pengembangan Himba menjadi poin penting dalam pengelolaan keanekaragaman hayati di Kalimantan Tengah. Hal ini terbukti dari penyampaian respon Bapak Persada Agussetia Sitepu, S.Hut.,M.Si. sebagai Kepala BKSDA Kalimantan Tengah saat ini. Dalam pertemuan “Pelatihan Aplikasi Himba” di Kantor BKSDA Kalimantan Tengah, beliau menyampaikan bahwa sistem ini juga bisa bermanfaat dalam pengelolaan data dan informasi, baik itu dari pengumpulan sampai dengan penyajian. “Permasalahan pemerintah untuk pemangku kawasan seperti BKSDA adalah aliran data yang banyak sehingga harus dikelola dan disikapi dengan baik dan bijaksana,” imbuh Bapak Agussetia.

Penyerahan simbolik sistem dari perwakilan GFI, Patricia dan Kepala BKSDA Kalimantan Tengah.

Tahap pelatihan ini diikuti dengan sangat antusias, hal ini terlihat dari 15 orang staf Balai KSDA Kalimantan Tengah dan 5 orang masyarakat yang hadir dalam pelatihan. Dengan pelatihan yang baik, pengguna dapat mengatasi masalah dasar sendiri, mengurangi permintaan bantuan dari tim dukungan teknis. Hal ini tentu saja membutuhkan jam terbang dalam penggunaan aplikasi, namun setidaknya proses pelatihan membuka wawasan baru dan yang dianggap rumit. Ketika pengguna merasa nyaman dan percaya diri dalam menggunakan aplikasi, maka akan cenderung lebih puas dan setia (mau menggunakan secara berkelanjutan).

Catatan: Aplikasi Himba tersedia di Google Play Store, namun verifikasi akun akan dilakukan oleh BKSDA Kalimantan Tengah untuk menghindari bias dalam data input.

UGM Kembangkan Sistem Informasi Datuk Gedang sebagai Upaya Penanggulangan Konflik Manusia-Gajah berbasis Suara

BeritaSI Datuk Gedang Friday, 1 March 2024

SATWA LIAR UGM- Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) mengadakan penutupan program dan penyerahan Sistem Informasi Datuk Gedang sebagai kontribusi dalam upaya mitigasi konflik manusia-gajah berbasis suara di Kawasan Bentang Alam Bukit Tiga Puluh, Jambi pada (28/2/2024). Sejak dua tahun lalu, terhitung sejak 2022, Fakultas Kehutanan UGM telah melakukan kerja sama dengan para mitra lokal, dengan mitra kunci Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, melalui pendanaan dari Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Sumatera untuk membangun sistem informasi deteksi dini konflik manusia-gajah yang diberi nama Datuk Gedang. Nama Datuk Gedang diambil dari istilah panggilan gajah bagi warga lokal, khususnya Sumatra.

“Harapannya agar nama Datuk Gedang mudah diingat, serta mudah diintegrasikan dengan berbagai inisiatif dalam upaya konservasi Gajah, terutama di Jambi,” ucap Dr. Muhammad Ali Imron, selalu perwakilan tim UGM. Datuk Gedang merupakan sebuah sistem untuk deteksi dini konflik manusia-gajah yang mengintegrasikan webGIS, mobile application, dan suara gajah atau biasa dikenal dengan bioakustik. Bioakustik ini dipahami sebagai ilmu yang mempelajari karakteristik suara yang berkaitan dengan makhluk hidup, dalam hal ini Gajah Sumatera. Dengan adanya, Datuk Gedang diharapkan dapat memfasilitasi partisipasi publik dalam melaporkan konflik atau keberadaan gajah, khususnya di bentang alam Bukit Tigapuluh yang saat ini digunakan sebagai lokasi pengembangan.

Dr. Imron selaku perwakilan tim UGM

Menurut Dr. Imron, upaya konservasi bagi satwa yang dijuluki sebagai raksasanya pulau Sumatra ini diakui perlu perhatian khusus. “Tantangan pengelolaan bagi gajah sumatera tidak hanya terkait dengan kebutuhan ruang, namun juga kompetisi ruang dengan manusia,” ucap Dr. Imron melanjutkan.

Melalui program riset ini, Fakultas Kehutanan UGM mencoba untuk tidak hanya menjawab pertanyaan untuk kepentingan sains. Melainkan juga dalam penerapannya di lapangan. Meski demikian, program ini tidak serta-merta menawarkan sebuah solusi tunggal untuk menyelesaikan masalah melainkan sebagai salah satu upaya penyelesaian masalah. “Kami menyadari, sebagai sebuah universitas, kami memiliki keterbatasan dalam konteks di lapangan. Tentu sistem ini juga masih perlu banyak pengembangan lanjutan,” ungkapnya.

Pernyataan ini disetujui oleh Ir. Donal Hutasoit, M.E. selaku Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi. Baginya, penyelesaian interaksi negatif manusia-gajah memang tidak bisa menggunakan single option. Dengan adanya pengembangan bioakustik sebagai sistem deteksi dini menjadi pendukung teknologi deteksi gajah yang telah ada. Apalagi, sistem informasi yang dikembangkan oleh UGM memiliki sistem real time yaitu kelebihan penyampaian informasi cepat. “Kecepatan informasi menjadi penting bagi kami untuk memberikan langkah yang tepat, cepat, dan terbaik, agar satwa dan manusia dapat hidup bersama,” ungkap Bapak Donal.

Ir. Donal Hutasoit, selaku kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi

Ia juga menambahkan, adanya pengembangan sistem deteksi dini sangat relevan dengan upaya konservasi gajah di Bentang Alam Bukit Tiga Puluh. Besarnya luasan kawasan, terkadang menyulitkan petugas untuk mendeteksi keberadaan gajah di semua lokasi. Tentu, dengan adanya sistem ini sangat mendukung dalam deteksi keberadaan gajah, khususnya pada lokasi potensi interaksi manusia-gajah di kebun atau desa yang berbatasan langsung dengan habitat gajah.

Baginya, kolaborasi dan kerja sama sangat penting untuk dilakukan. Terkhususnya perguruan tinggi yang memiliki kontribusi nyata terhadap riset ataupun yang bersifat aplikatif. “Roh konservasi juga berada pada sains, jika tidak didukung oleh kajian-kajian ilmiah. Kadang-kadang bisa dipatahkan dengan berbagai kepentingan yang ada,” cetusnya.

Simbolisasi penyerahan sistem informasi Datuk Gedang yang telah dikembangkan UGM

Selain penutupan program, juga dilakukan penyerahan hasil berupa Sistem Informasi Datuk Gedang yang dilakukan melalui penandatanganan berita acara dan penyerahan alat secara langsung oleh UGM dan BKSDA Jambi. Acara yang diselenggarakan di Hotel Odua Weston Jambi ini, turut dihadiri oleh mitra-mitra konservasi gajah di kawasan Bentang Alam Bukit Tiga Puluh, baik dari akademisi, lembaga, ataupun perusahaan konsesi.

 

Laboratorium Pengelolaan Satwa Liar FKT UGM Adakan Pelatihan Analisis Data Menggunakan Python

Berita Sunday, 21 January 2024

SATWA LIAR FKT UGM- Dalam era yang kian terdigitalisasi, penggunaan data telah menjadi landasan utama bagi ilmu pengetahuan, termasuk studi satwa liar. Oleh karenanya, Laboratorium Pengelolaan Satwa Liar Fakultas Kehutanan (FKT) UGM didukung oleh The Nature Conservancy mengadakan kegiatan “Pelatihan Analisis Data Menggunakan Python” selama dua hari pada (19-20/01).  Pelatihan yang diadakan secara luring ini mengundang Dr. Ahmad Ridwan Tresna Nugraha, Kepala Pusat Penelitian Fisika Kuantum BRIN sebagai narasumber.

Sesi Praktik Pelatihan Python yang Diadakan di Laboratorium Pengelolaan Satwa Liar FKT UGM

Secara umum, kegiatan pelatihan dirancang dengan dua agenda utama. Agenda pertama yaitu pematerian terkait dasar-dasar dan pengantar dalam analisis data. Kemudian, dilanjut dengan agenda kedua yakni praktik langsung penggunaan python untuk analisis data ekologi melalui Visual Studio Code yang juga dipandu langsung oleh Dr. Ridwan. Dengan demikian, diharapkan, pelatihan ini tidak hanya memberikan teori, tetapi juga memancing peserta untuk berpikir kritis dalam memecahkan studi kasus.

Suasana Pelatihan Analisis Data

Meski diadakan selama dua hari berturut-turut dari pagi hingga sore, diskusi dan pelatihan tetap berjalan sangat interaktif. Masing- masing peserta saling berbagi pengalaman dan kendala yang dihadapi. Dalam diskusi tersebut juga dikupas berbagai masalah teknis dan juga upaya penyelesaiannya.

“Awalnya memang sulit. Tapi jika kita belajar dan berusaha, lama-kelamaan juga terbiasa,”  ucap Dr. Ridwan di sela-sela pelatihan kepada para peserta yang terdiri dari dosen, peneliti, dan mahasiswa ini.

Kemudian, kegiatan pelatihan ditutup oleh Dr. Muhammad Ali Imron, S.Hut., M.Sc. selaku Kepala Laboratorium Pengelolaan Satwa Liar FKT UGM, sekaligus penyerahan kenang-kenangan. Dalam penutupannya, Dr. Imron menyampaikan bahwa dalam suatu kegiatan pelatihan yang terpenting adalah pengaplikasiannya pasca pelatihan. “Saat praktik sendiri biasanya baru akan benar-benar paham dan bisa, boleh dicoba dengan data-data penelitian yang telah dimiliki,” ucap Dr. Imron sekaligus menutup kegiatan pelatihan.

Penyerahan Kenang-Kenangan untuk Narasumber

Podcast Bincang Hutan Tropis: Cara Baru Deteksi Dini Pergerakan Gajah Lewat Teknologi Seluler

BeritaSI Datuk Gedang Friday, 8 December 2023

Selama kurang lebih satu tahun terakhir, Fakultas Kehutanan UGM melalui Laboratorium Pengelolaan Satwa Liar telah aktif mencoba untuk memanfaatkan peluang pengembangan teknologi bioakustik sebagai salah satu upaya mitigasi konflik satwa-manusia, khususnya dalam konteks interaksi negatif dengan Gajah. Inisiatif ini diwujudkan melalui program “Pengembangan Sistem Informasi Deteksi Dini Konflik Manusia-Gajah berbasis WebGIS melalui Pemanfaatan Mobile Application dan Bioakustik di Bentang Alam Bukit Tiga Puluh-Jambi” atau saat ini dikenal sebagai Sistem Informasi Datuk Gedang.

Meski masih dalam tahap pengembangan awal, Laboratorium Pengelolaan Satwa Liar UGM berkomitmen untuk ikut serta dalam mengedukasi masyarakat perihal peluang pemanfaatan teknologi untuk penyelesaian masalah dalam konservasi, terkhususnya terkait sistem informasi Datuk Gedang. Dalam hal ini, Dr. Muhammad Ali Imron, sebagai Kepala Laboratorium Pengelolaan Satwa Liar UGM, mendapat kesempatan untuk menjadi bintang tamu dalam Podcast Bincang Hutan Tropis yang diadakan oleh Tropical Forest Conservation Action-Sumatra (TFCA-Sumatera). Podcast ini secara khusus membahas topik “Cara Baru Deteksi Dini Pergerakan Gajah Lewat Teknologi Seluler”. Dalam podcast ini, Dr. Muhammad Ali Imron berbagi wawasan tentang apakah itu bioakustik, mengapa bioakustik, dan banyak hal lain terutama yang berkaitan dengan sistem informasi Datuk Gedang.

Yuk, mari kita simak secara lengkap dalam episode terbaru Podcast Bincang Hutan Tropis!

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=Af4x3CviVYo[/embedyt]

Sistem Informasi Monev untuk Rehabilitasi Mangrove – SISFO Mangrove

Berita Friday, 10 November 2023

SATWA LIAR UGM- Langkah awal dalam melaksanakan rehabilitasi ekosistem mangrove secara komprehensif dimulai dengan intervensi pembangunan dan pembentukan kerangka kebijakan. Hal tersebut melibatkan penyusunan dokumen-dokumen peraturan mulai dari tingkat peraturan pemerintah hingga tingkat regional, termasuk peraturan di tingkat daerah dan desa, yang mengatur tentang tata kelola dan pola kerja dalam melindungi ekosistem mangrove.

Perkembangan jaman yang semakin canggih, tentunya dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove, perlu untuk menambahkan unsur teknologi seperti membangun sistem informasi berbasis internet of things. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada bersama Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) melakukan inisiasi dengan membangun sistem informasi rehabilitasi ekosistem mangrove yang bertujuan meningkatkan kualitas kegiatan rehabilitasi sehingga menjadi lebih efektif dan efisien. Melalui proses digitalisasi juga diharapkan ada akses terbuka terhadap informasi yang memungkinkan masyarakat umum untuk dengan mudah menggali dan mencari informasi tentang rehabilitasi ekosistem mangrove di Indonesia tanpa mengorbankan kerahasiaan pihak-pihak tertentu.

Gambar Pembahasan mengenai kebutuhan data dan informasi penyusun monitoring dan evaluasi rehabilitasi mangrove dengan tim BRGM di Laboratorium Pengelolaan Satwa Liar, Fakultas Kehutanan, UGM.

Pada proses pemantauan atau monitoring terdapat aktivitas penting untuk menjaga hasil yang berkualitas, yaitu tahapan input data yang dilakukan pada tingkat tapak. Sebagai bagian dari SISFO Mangrove, maka input data akan menggunakan aplikasi mobile berbasis android atau disebut aplikasi Padat Karya Mangrove. Aplikasi dibangun dengan mempertimbangkan kebutuhan BRGM dilapangan, seperti

Proses uji coba oleh Tim UGM dan Tim BRGM

Uji coba aplikasi SISFO MANGROVE dimaknai sebagai proses uji coba tingkat pertama dimana untuk mendeteksi kelengkapan fitur dan bug/eror yang ada. Hasil dari uji coba akan digunakan untuk proses launching atau dalam pelaksanaan swakelola ini diartikan pada tahap serah terima. Selanjutnya, pelaksanaan alih pengetahuan dari pihak pelaksana swakelola kepada user. Pelaksanaan alih pengetahuan atau disebut knowledge transfer atau knowledge transfer process adalah proses yang merinci bagaimana pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman dikomunikasikan, dibagikan, dan ditransfer dari satu individu atau kelompok ke individu atau kelompok lain. Alih pengetahuan adalah penting dalam konteks untuk memastikan kelangsungan dan pengembangan berkelanjutan. Alih pengetahuan SISFO Mangrove dilakukan oleh pihak UGM ke BRGM melalui pertemuan di Hotel Permata, Bogor pada 6-7 November 2023.

Serah terima sistem dari Tim UGM ke Tim BRGM di Bogor

Note: Aplikasi Padat Karya Mangrove atau SISFO Mangrove digunakan hanya oleh tim BRGM.

1234
Universitas Gadjah Mada

Locally Rooted Globally Respected

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY